Sidang pertama pada hari itu berjalan dengan baik dan lancar. Walau Lina agak berbelit-belit saat menjawab, namun dia bisa menjawab dan mengakui semua yang dilakukannya kepada Monita. Sidangpun berjalan sesuai dengan jadwal dan waktu yang sudah ditentukan.
Ada pengakuan yang membuat Monita sangat terkejut. Dia berkata 'Hari itu dia agak takut untuk melakukannya, namun karena dibantu orang lain dan kedua laki-laki itu memberi masukan dan arahan, disitulah akhirnya dia berani melakukan hal itu. Semenjak hari itu, Lina akhirnya menjadi sering di peras oleh laki-laki itu'.
Selesai sidang Monita menemui Lina yang sedang berbicara dengan pengacaranya.
"Hallo Lin.. apa kabar?"
"Hai Mon, aku baik.. ini kenalin Kakakku!"
"Hai.. saya Hasan" mereka saling berjabatan tangan..
"Lin, boleh ngobrol sebentar?"
"Boleh Mon.. ada apa nih?"
"Lo bayar orang sampe segitu mahalnya Lin!"
"Iya seperti yang lo dengar tadi, awalnya mereka hanya mau bantu gua doang.. makanya waktu itu gua mau bekerja sama dengan mereka. Tetapi setelah berita ini menjadi besar, mereka datangi gua lagi sambil mengancam akan memberitahu keberadaan gua dengan pihak kepolisian"
"Iya padahal lo sudah bayar mahal diawal ya!"
"Iya 1 orang gua kasih 5 juta"
"Ya begitulah manusia Lin, banyak yang licik. Ya sudah, sekarang saatnya lo berubah menjadi orang yang terbaik untuk semua orang didekat lo. Gua yakin ini juga yang diharap bapak lo"
"Jangan ngomongin dia deh, gua sebel sama dia. Mana dia saat keadaan gua seperti ini, apa dia peduli?"
"Eh, maaf-maaf.. segitu marahnya sih!"
"Iya Lin, papa sebenarnya sayang banget sama kamu, pernah gua lihat papa pegang foto kamu sambil menangis. Mungkin papa tidak mau saja anaknya cengeng makanya dia didik kamu seperti ini"
"Kakak tidak usah belain papa deh, aku cuma butuh bukti.. sekarang mana dia? Telepon juga enggak"
"Ya sudah, suatu saat nanti semoga semuanya menjadi lebih baik. Sekarang lupain saja hal ini" Monita menenangkan mereka berdua..
Hampir 3 bulan lamanya menjalani persidangan, akhirnya selesai juga dengan keputusan Lina harus hukum penjara 6 Tahun lamanya begitu juga dengan 2 orang yang membantunya.
Saat sidang terakhir itu, terlihat Bapaknya Lina hadir mendengarkan putusannya. Terlihat wajahnya yang begitu tegang dengan mata yang basah.
Putusan ini memang lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya yaitu 12 Tahun penjara. Keputusan hakim karena melihat Lina masih muda dan tidak berbelit-belit dalam berkata dipersidangan.
Usai sidang putusan terakhir itu, Lina menemui Monita dan meminta maaf kepadanya serta Robert dan keluarga Monita. Dalam kesempatan itu aku juga dikenalkan kepada Bapak Zainal, yang tidak lain adalah bapak kandung Lina.
Pak Zainal juga meminta maaf kepada Monita dan orang tuanya serta Robert. Monita melihat sebenarnya keluarga Lina adalah keluarga yang bersahaja dan juga harmonis.
Dalam kesempatan itu juga terlihat momen dimana Pak Zainal memeluk erat anak kandungnya Lina. Terlihat mereka saling tangis dan berbicara pelan.
"Maafkan papa ya Lin, papa selama ini terlalu keras dalam mendidik kamu. Papa hanya tidak mau kamu salah dalam bergaul dan menjadi manja"
"Iya pah.. Lina juga minta maaf sudah banyak menyusahkan papa.. mama.. terlebih lagi kasus ini membuat nama keluarga kita tercoreng"
"Ya sudah, ini mungkin teguran kepada papa agar papa bisa menjadi orang yang lebih baik lagi" mamanya berkata..
"Mama bisa saja! Sekarang aku harus kehilangan anak perempuanku satu-satunya dalam waktu yang lama"
"Enggak begitu juga pah, nantikan ada remisi dan jika di dalam penjara Lina bersikap baik dan banyak membantu sipir penjara (petugas penjara), dia juga nanti bisa dibebaskan bersyarat. Lagi pulakan akan dipotong masa tahanan sebelum putusan sidang" anaknya yang pengacara berkata..
"Oh begitu nak.. ya sudah kamu baik-baik di dalam sana yah. Kabarin Papa selalu yah"
"Kabarin pakai apa pah?"
"Kan ada telepon genggam?"
"Mana boleh di dalam penjara pegang telepon genggam"
"Oh, tidak boleh ya? Ya sudah kalau begitu nanti papa dan mama akan selalu tengokin kami di sini"
"Terima kasih ya pah.. mah.. kak.. sudah banyak membantu aku"
Monita sangat bersyukur keluarga Lina akhirnya menjadi akur dan apa yang selama ini diharapkan sudah terwujud. Semoga saat mereka bersatu nanti, mereka bisa saling mendukung dan menjadi keluarga yang bahagia.
Sore hari keesokan harinya Monita dan Robert terbang ke Jakarta. Namun pagi harinya mereka bersama-sama sempatkan diri untuk jalan-jalan ke Ubud dan Trunyan.
Mereka sangat ceria dan bersyukur semuanya dapat berakhir dengan bahagia. Terlihat sekali dalam raut wajah mereka semua, kebahagiaan dan juga senyuman.
"Iya mah, Monita sudah kangen banget ni dengan Jakarta, kangen sama keluarga di sana juga"
"Kamu sudah 8 bulan di sini ya sayang? Sudah bisa nih bahasa Bali?"
"Apaan sih kamu Bert! Tapi aku senang dengan kejadian ini"
"Senang! Diculik malah senang.. hahaha" mereka tertawa semua..
"Senangnya, harusnya bulan madu 1 minggu ini bisa sampai 8 bulan lebih, jadi tahu semua tempat-tempat di Bali. Senang juga bisa menyatukan keluarga Lina. Banyak hikmah yang bisa diambil dari kejadian ini"
"Iya yah.. ini namanya Duka membawa bahagia ya!" Ucap papanya Monita..
"Iya bener.. bener pah" sahut Robert
"Bali ini indah yah.. sudah lama papa mau ke sini dengan mama kamu, karena tidak ada waktu dan selalu sibuk dengan urusan bisnis makanya jadi tidak sempat terus. Padahal Kalau keluar negeri malahan sudah sangat sering. Ini hikmahnya juga dari kasus kamu.. mama papa bisa melihat Bali.. sudah begitu bisa lama pula di sininya"
"Menurut Monita, papa mama bukan sibuk tapi tidak mau nyempetin diri untuk berkunjung ke sini. Buktinya keluar negeri bisa. Ini juga ke Bali 3 bulan lamanya juga bisa. Berarti asal mau sempetin dan siapin waktu pasti bisa lah"
"Iya.. iya deh.. anak papa yang satu ini bisa saja.."
"Bukan bisa saja.. tapi memang bener kan?"
"Iya.. iya deh"
Mereka sangat menikmati pemandangan alam yang masih asri di Ubud, pegunungan yang indah dengan udara yang sangat segar, air di sana pun sangat bening. Setelah puas dengan melihat asrinya pegunungan Bali, mereka ke trunyan.
Di sini Monita agak merinding dibuatnya sehingga agak ragu untuk ikut sampai masuk area pekuburannya. Namun karena melihat banyak orang yang ke sana, diapun berani dan malahan antusias bertanya pada penjaga makamnya.
"Pak.. berapa total orang yang dikuburkan disini?"
"Untuk yang baru hanya sebatas 11 orang saja maksudnya yang dikurung dalam anyaman bambu ya"
"Jika ada lagi yang akan dikuburkan.. padahal jumlahnya sudah 11?"
"Maka akan dicari yang mana sudah dibaringkan paling lama disini? Dan yang lama akan disingkirkan dan ditaruh juga di sekitar sini"
"Oh tidak dikuburkan ya pak?"
"Tidak.., hanya ditumpuk atau dibiarkan begitu saja di sekitar sini"
"Oh begitu ya.."
"Itu ada yang baru meninggal 2 hari yang lalu, tidak tercium kan baunya?"
"Iya.. iya pak.."
"Nah itu karena wewangian dari pohon ini" penjaga makam menunjuk pohon taru menyan yang ada di depan makam..
"Hebat ya! Terus siapa saja yang boleh dimakamkan disini pak?"
"Penduduk Trunyan yang meninggalnys normal dan sudah pernah menikah.. bukan bunuh diri, kecelakaan, dibunuh.. ya kalau dibilang meninggal karena sakit atau karena sudah tua"
"Oh begitu"
"Kalau meninggalnya tidak wajar ya kita tetap menguburkannya di tempat pemakaman yang sudah disediakan"
Banyak hal yang Monita tanyakan, karena penasarannya. Sedangkan wisatawan lain mendengarkan mereka berbicara.
Pukul 2 siang mereka kembali ke hotel. Di hotel mereka menyiapkan segala perlengkapan, pakaian, oleh-oleh kemudian berangkat ke Bandara.
Dalam perjalanan menuju bandara Monita bercerita.
"Kita kalau sudah meninggal tidak bisa berbuat apa-apa lagi yah!"
"Kok tiba-tiba bicara seperti itu?" Sahut suaminya Robert..
"Iya kayak tadi di sana.. mereka tidak dikuburkan secara layak dan digeletakkan dimana saja"
"Itukan sudah adat mereka Mon" jawab papanya..
"Iya aku ngerti"
"Terus apa?"
"Iya saat hidup sekarang kita bisa berbuat apa saja semau kita, kita bisa kemana saja dan apa yang kita sudah lakukan untuk keluarga kita, anak kita, diri kita, orang tua kita, kehidupan kita, agama kita dan lainnya. Aku rasa saat hidup ini lah kita harus berikan yang terbaik untuk kita, Allah dan orang di sekeliling kita. Tidak bisa kita seenaknya lagi.. karena kita tidak tahu kapan kita akan mati"
"Kamu kenapa Mon?" Jawab Robert..
"Tidak apa-apa.. emang aku kenapa? Tapi benarkan apa yang aku katakan?"
Semua terdiam dan menganggukkan kepala tanda mereka setuju dengan perkataan Monita.
Ketika sampai di bandara mereka bertemu seluruh keluarga dari Lina, ternyata mereka menaiki pesawat yang sama.
"Memang dunia sempit ya! Bapak Ibu juga naik pesawat ke Jakarta yang jam 8 malam ya"
"Iya"
"Ternyata.."
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa bu"
"Kami sudah jenuh di sini, mau segera istirahat di Jakarta"
"Iya bu, kita juga sama"
"Seenak-enaknya tempat tinggal, masih enakan rumah sendiri ya?"
"Iya ya"
Mereka berbicara sambil menunggu pesawat datang, terlihat di layar monitor pesawat delay.
(KK)
--- DH ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar