Mengingat kembali masa-masa kita sekolah dulu. Waktu itu kamu datang menghampiriku disaat aku sedang duduk sendiri waktu jam istirahat sekolah. Kamu datang kepadaku dengan membawa coklat 2 buah dan memberikan kepadaku sambil mengatakan 'I Love You'.
Saat itu aku terdiam karena bingung harus menjawab apa. Waktu itu aku hanya menganggapmu teman biasa saja karena kamu memang bukan tipe cowok yang aku idamkan. Namun dalam beberapa saat ku terdiam, hati kecilku menjawab 'jalani saja dulu.. bagaimana kamu bisa mengenalnya jika kamu tidak menjalani bersamanya'.
Hingga kemudian keluar dari mulut ku kata 'Ya'. Aku ingat sekali kejadiannya itu tepat tanggal 14 Februari. Ku lihat dia sangat bahagia mendengar jawaban dariku, walau jawaban dariku hanya 2 huruf saja.
Aku memanggilnya Lay, nama sebenarnya adalah Marlay dan dia memanggilku Dari, dengan nama asliku adalah Sundari. Hari-hari setelah itu aku menjadi akrab dan sering jalan dengannya. Aku sangat bahagia bersamanya, tidak kusangka dia orangnya sangatlah tomantis dan perhatian. Marlay memang orang yang sangat baik, bukan saja kepadaku tetapi kepada semua orang. Dia sering sekali membantu orang yang sedang kesulitan.
Disetiap hari jadianku dia selalu memberikanku hadiah. Walau aku pernah bilang tidak usah tapi dia masih tetap saja memberikanku hadiah.
"Lay.. kamu tidak usah memberikanku hadiah terus seperti ini. Perhatian kamu kepadaku sudah sangatlah cukup"
"Gak apa-apa Dari, ini kan bentuk kasih sayang ku untuk bidadariku"
"Tapikan kamu sudah sering banget kasih aku hadiah. Bagiku kasih sayang kamu sudah sangatlah cukup untukku"
"Memang kamu tidak suka aku kasih hadiah?"
"Suka'.. aku sangat suka'.. apalagi ini pemberian dari orang yang aku sayang"
"Ya sudah, sekarang kamu simpan saja semua pemberian dariku. Semua ini akan menjadikan kenangan suatu saat nanti"
Sekarang di saat dia sudah tidak ada di sisiku. Saat memandang semua pemberian darinya aku pasti teringat masa-masa saat dia memberikannya dulu. Dia punya sejuta cara untuk memberikan dan menyatakan sesuatu untukku.
Itulah Mas Marlay, suamiku yang telah meninggalkanku dengan 2 orang anaknya yang masih berumur 7 dan 2 tahun.
Sangat sedih saat ditinggalkan dengannya, karena aku kehilangannya sangat tiba-tiba. Saat itu aku sedang memasak di rumah. Aku dapat telepon jika Mas Marlay kecelakaan motor saat akan berangkat kerja. Bergegas aku pergi ke rumah sakit. Kedua anakku, ku titipkan pada orangtuaku.
Sampai di rumah sakit, aku memasuki ruang Unit Gawat Darurat (UGD), aku melihatnya tertidur lemah. Saat ku hampiri dia masih sadar dan kami masih berbicara berdua.
"Dari' sayang, makasih ya kamu cepat datang ke sini. Aku titip anak- anak ya sayang"
"Mas, kamu harus bertahan demi aku dan anak-anak"
"Sakit sekali badanku, aku sudah tidak kuat sayang. Maafin kesalahanku selama ini yah sayang"
"Mas, ku mohon bertahanlah"
"I Love You cintaku.. sayangku"
Diapun pergi disaat aku menjawab 'I Love You too cintaku.. sayangku"
Sedih sekali, disaat hari itu. Entah berapa banyak air mata yang tumpah membasahi pipiku.
Sampai hari ini akupun masih menangis saat mengingat hari dimana kamu telah meninggalkanku, karena apa?. Karena hari itu adalah tanggal jadian dan pernikahan kita yaitu tanggal 14 Februari.
Aku yang pagi itu sudah menyiapkan masakan yang paling istimewa untukmu. Spesial aku masak semua masakan kesukaanmu.
Sekarang ini aku bingung harus bekerja apa untuk melanjutkan hidupku dan anak-anak kita. Yang ada, aku hanya bisa bekerja menjadi buruh cuci dan strika di tetangga sekitar. Karena selama ini aku belum mempunyai pengalaman kerja dan aku berfikir 'jika bekerja, akan ku kemanakan anak-anakku'.
Di atas kuburan suamiku biasanya aku bercerita, disaat hatiku sudah berat menahannya. Akupun bercerita di pusaranya. Ini mengenai anakku yang pertama.
Sekarang ini aku bingung harus bekerja apa untuk melanjutkan hidupku dan anak-anak kita. Yang ada, aku hanya bisa bekerja menjadi buruh cuci dan strika di tetangga sekitar. Karena selama ini aku belum mempunyai pengalaman kerja dan aku berfikir 'jika bekerja, akan ku kemanakan anak-anakku'.
Di atas kuburan suamiku biasanya aku bercerita, disaat hatiku sudah berat menahannya. Akupun bercerita di pusaranya. Ini mengenai anakku yang pertama.
"Mah, kakak ranking satu, mana janji mama mau beliin es krim." rengek Andika putra sulungku. Sejak pulang sekolah ia selalu saja menagih janjiku. Mana kutahu bila si sulung yang baru kelas dua SD akan meraih ranking satu, pikirku saat berjanji paling dia hanya akan masuk sepuluh besar saja seperti biasa.
"Sabar ya, Nak, tunggu ibu gajian tanggal satu." janjiku, padahal aku pun tahu tanggal satu nanti upah menjadi buruh cuci separuhnya akan habis untuk keperluan rumah.
Andika cemberut. Aku tahu dia kecewa. Tak banyak pinta anak ini sebenarnya, hanya sebuah es krim ketika ia ranking satu. Tapi bagiku itu barang mahal.
Ah seandainya saja Andika ranking dua atau tak usahlah ranking sekalian, dia pasti tak sekecewa ini.
Bukan tak mau bekerja lebih giat lagi, namun selain Andika, aku memiliki Anita putri bungsuku yang masih berusia dua tahun. Tak semua orang mau menerima pekerja rumah tangga yang membawa balita.
Sejak itu aku melakukan kerja apapun, mulai dari buruh cuci, hingga upahan membuat kue. Kebetulan kata orang-orang bolu pisang buatanku enak.
"Mbak, bisa buatin bolu pisang?" Sebuah pesan masuk.
Aku bersorak. Alhamdulillah tak sia-sia mengisi pulsa data beberapa hari yang lalu dan mengaktifkan WA (WhatsApp) ku. Ada pesanan masuk.
"Bisa Mbak, mau berapa loyang?"
"2 loyang, ngambilnya habis Zuhur bisa?"
"Bisa Mbak." Aku menyanggupi..
"Tapi bolu pisangnya jangan pakai gula ya, biar manisnya ngambil dari pisangnya saja. Anakku alergi gula."
"Siap, Mbak.. saya akan buatkan sesuai pesanan."
"Berapa harganya?"
"50.000 Mbak"
"40.000 saja ya, kan gak pakai gula"
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, padahal dalam tiap loyangnya aku hanya mengambil untung 20.000.
"Ya sudah karena Mbak ngambil dua, aku kasih"
"Oke, tapi aku gak bisa ngambil ke rumah ya, Mbak. Aku mau pergi liburan, jadi jam 1 aku tunggu di depan SMP yang ada di simpang itu"
"Oke siap"
Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang ambon yang belum terpakai jadi gak perlu beli ke pasar. Alhamdulillah aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan dua loyang bolu pisang. Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok.
Setelah sholat Zuhur, jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja. Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah. Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap semangat, demi 20.000.
Jam satu kurang lima menit kami telah tiba di tempat janjian. Mungkin sebentar lagi yang memesan akan datang. Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit berlalu namun tak kunjung ada tanda bila si pemesan akan datang.
Beberapa pesan telah kukirim sejak tadi namun hanya terkirim dan belum dibaca. Aku menelpon berkali-kali pun tak kunjung diangkat. Sudah hampir satu jam menanti.
Si sulung telah lelah dan merengek sementara si bungsu telah bangun dan ikut meraung karena kepanasan.
Ting! Sebuah pesan masuk. Hatiku bersorak, dari si pemesan kue.
"Ya Allah Mbak, maaf ya aku lupa. Ini suami berubah pikiran, awalnya dia bilang berangkat habis Zuhur eh tahunya jam sepuluh udah mau buru-buru. Jadi gak sempat kasih kabar. Mbak, jual bolunya sama orang lain saja ya, aku udah jalan ke kampung"
Aku langsung terduduk lemas. Ya Allah, ya Allah, ya Allah. Apalagi ini? Aku tak meminta banyak ya Allah, hanya es krim saja.
Peluhku yang sudah sejak tadi mengucur, kini bercampur dengan air mata. Dalam hati 'siapa yang ingin membeli bolu pisang tanpa gula dengan rasa manis yang alakadarnya?'. Ya Allah, berkali aku menyeka air mata yang terus membasahi wajah.
Sulungku berhenti merengek, dia langsung diam melihat air mataku. Lama ia menatapku iba. Kedua matanya mulai berkaca. Tak tega hati ini melihatnya. Ia hanya ingin es krim seharga 5000 ya Allah.
"Andika gak akan minta es krim lagi Bu, tapi ibu jangan nangis." Dika kecilku berkata dengan suara yang bergetar. Sepertinya ia pun menahan tangis.
"Kita pulang, Nak," ucapku. Andika mengangguk?, si bungsu pun tangisnya mulai mereda. Sepertinya ia mengerti akan kegundahan hati ini.
Ya Allah, beginilah rasanya. Sakit ya Allah, sakit, sakit, sepele bagi mereka namun begitu berat bagiku. Bahan-bahan bolu itu adalah modal terakhir dan kini seolah sia-sia. Ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Berat, sungguh berat, belum lama suamiku pergi dan kini rasanya aku lemah. Tak banyak ya Allah hanya ingin es krim saja, itu saja, untuk menyenangkan buah hatiku dan kini bukan untung yang kudapat malah kerugian yang telah nyata di depan mata.
Aku baru saja memasuki halaman rumah kontrakan, ketika Bu Sari tetanggaku kulihat telah menunggu.
"Eh, ibunya Dika, dicariin, untung cepat pulang."
"Ada apa Bu?" tanyaku. Semoga saja wanita baik ini akan memberikanku perkerjaan. Apa saja boleh, bahkan yang terkasar sekalipun akan kuterima. Tapi gak mungkin, di rumah besarnya sudah ada dua pembantu yang siap sedia. Aku kembali membuang anganku.
"Gini, ibu jangan tersinggung ya." Bu Sari menatapku.
Aku mengangguk, ingin kukatakan bila rasa tersinggung itu sudah lama lenyap dalam kamus hidupku.
"Papanya anak-anak kan baru pulang jemput kakek neneknya dari bandara. Ya dasar laki-laki tahunya kan cuma nyenengin anak tapi gak tahu yang baik. "
Aku mengangguk walau belum paham kemana arah pembicaraan.
"Masa dia ngebeliian anak-anak es krim sampai lima buah. Padahal anakku kan masih batuk pilek parah. Jadi, dari pada buat rusuh, mau ya Bu menerima es krim ini, untuk Dika dan adiknya." Bu Sari menyerahkan plastik putih berisi es krim padaku.
Aku terdiam tak sanggup berkata-kata.
"Asikkk." Dika bersorak, aku masih bergeming.
"Lo, yang ibu bawa itu apa?" tanya Bu Sari melirik kantong hitam berisi dua kotak bolu pisangku.
"Bolu pisang Bu, tapi gak manis, kebetulan yang mesan batal. "
"Wah kebetulan, neneknya di rumah itu diabetes jadi gak bisa makan manis. Saya beli ya untuk cemilan."
"Benar Bu?" Aku bertanya tak percaya.
"Iya, berapa harganya?"
"Berapa saja, Bu. Terserah, asal jadi uang."
"Ya sudah." Bu Tia menyerahkan dua lembar uang merah ke dalam genggamanku.
"Ya Allah Bu ini kebanyakan ," ucapku.
"Sudah, gak apa-apa.. ambil saja, kalau mesan yang kayak gini emang mahal kok Bu." Bu Sari langsung mengambil kantong berisi bolu pisang dan bergegas pergi.
Aku masih diam dengan air mata yang mulai menetes lagi. Baru saja mengeluh akan pahitnya hidup dan kini semua telah terbayar lunas.
Masih banyak lagi keluhan lainnya yang aku ceritakan diatas pusaranya. Aku selalu berharap semuanya akan kembali baik. (KK)
-- DH --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar