Entah kenapa aku sangat tergila-gila dengan tetangga percis di depan rumahku. Bagiku dia sangatlah menarik, saat memandangnya aku benar-benar terpanah dibuatnya. Terlebih lagi karakternya yang sangat berwibawa, kebapakkan sekali dan santun. Jika dia berbicarapun sangat sopan dan tutur katanya sangat berpendidikan. Tak heran juga tetangga-tetangga di sini banyak yang akrab dengannya.
Aku memang bisa dibilang masih sangat muda, umurku baru memasuki 14 tahun. Saat aku kecil aku mengenal Pak Sanusi biasa saja. Aku bahkan berteman baik dengan anak keduanya yang bernama Desi. Aku dan Desi sangat dekat sejak kami masih sangat kecil hingga sampai saat ini kami pun satu sekolahan, bahkan kami satu kelas.
Bisa dibilang mungkin umur Pak Sanusi lebih tua dari ayahku. Aku adalah anak pertama, sedangkan anak pertama Pak sanusi adalah laki-laki dan sudah berumur 17 tahun, aku sering memanggilnya kak Aldi. Kak Aldi adalah orang yang sangat baik denganku, dulu saat kecil kami pernah main bersama. Kalau sekarang ini dia lebih banyak meledekku, tapi tetap baik sih orangnya.
Sekarang usiaku sudah 17 tahun, namun kekagumanku dengan Pak sanusi semakin menjadi. Aku bahkan sering mencuri pandang dan sangat suka jika disuruh ibu mengantar makanan ke rumah Desi.
Pernah saat itu aku ke rumah Desi, tujuannya sih mengantar oleh-oleh dari Yogyakarta. Kami sekeluarga baru dari sana jalan-jalan selama 4 hari lamanya dengan membawa mobil sendiri. Saat itu, Pak sanusi keluar menyambutku.
"Assalamu alaikum"
"Wa'alaikum salam.. Eh, kamu Nina. Ada apa? Nyari Desi yah? "
"Enggak kok Pak.. Saya cuma antar ini, titipan dari ibu"
"Apa ini?"
"Oleh-oleh pak dari Jogja"
"Waduh.. Pake' Repot-repot, antar kue segala.. Sampaikan terima kasihku yah sama kedua orang tua kamu. Bilang.. Kami sangat senang menerima oleh-oleh ini"
"Iya pak, saya pamit yah Pak"
"Oke"
"Assalamu alaikum"
"Wa alaikum salam
Saat ini aku dan Desi tidak satu sekolahan. Namun kita masih sering ketemu saat ada acara di lingkunganku. Kami juga masih sering jalan ke mall atau makan di dekat rumah. Terkadang pacar Desi ikut bersama dengan kita. Pacar Desi adalah teman satu sekolahannya mereka bertemu saat orientasi siswa waktu masuk kelas satu tahun kemarin.
Waktu berjalan begitu cepatnya, hingga saat ini aku masih belum mempunyai pacar. Yang ada hanya teman dekat pria saja, memang tidak bisa dipungkiri bahwa, banyak yang menyukai aku bahkan ada yang sangat tergila-gila denganku. Sampai-sampai dia tahu apa yang saat ini sedang aku lakukan dan kemana saja aku pergi. Namun itu semua masih belum membuatku tertarik dengan mereka.
Pernah aku suka dengan pria yang sudah sangat dekat denganku. Mario namanya, awal kedekatanku dengannya, aku belum mempunyai perasaan, namun lama kelamaan aku menjadi sedikit tertarik dengannya. Tetapi setelah aku tahu sangat banyak teman wanitanya, aku mulai menjaga jarak dengannya.
Bagiku sangat sulit membandingkan Pak Sanusi dengan banyak pria yang selama ini aku kenal. Dari kecil aku kenal dengan Pak Sanusi bagiku dia tetap yang terbaik sampai dengan saat ini.
Saat aku berada di rumah Desi, saat ada Pak Sanusi, aku rela menghabiskan waktu di rumahnya hingga seharian. Tapi lebih menyebalkan jika ada kak Aldi, kak Aldi sering sekali menggodaku. Dia bahkan pernah mengajakku jalan atau makan malam berdua di luar. Pernah sih aku turuti kemauannya, tapi itu disaat aku malas berada di rumah.
Pernah aku dengan Desi mengobrol bahwa kakaknya memang suka denganku sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama) dulu.
"Nin lo tahu gak? "
"Kenapa? "
"Itu kakak gua, kemaren cerita dengan gua.. Kalau dia cinta sama kamu! "
"Masa sih"
"Iya bener"
"Beneran? "
"Awalnya sih.. Gua gak percaya.. Tapi setelah dia cerita gua percaya kalau dia bener cinta sama lo"
"Gua sih sudah curiga.. Karena tau gak.. Dia sering ngajak jalan gua, tapi gua gak mau kepedean aja"
"Dia suka lo, dari sejak kita SMP"
"Oh.. Ya, sudah dari sejak lama yah.. "
"Hehehehe.. " kita tertawa bareng
Di keluarganya aku sudah dianggap anak oleh Pak Sanusi. Karena memang aku sangat sering bermain ke rumahnya. Berbeda sebaliknya dengan Desi, paling setahun sekali ke rumahku itupun saat hari Lebaran (Idul Fitri).
Sekarang aku sudah mulai kuliah, hubunganku dengan Desi sudah mulai renggang. Namun aku masih curi pandang dengan Pak Sanusi. Aku tahu saat dia akan berangkat kerja atau pulang kerja, aku juga tahu saat dia menyiram tanaman dan rajin menyapu rumah.
Hingga suatu hari aku dengar ibunya Desi meninggal saat dia sedang tertidur di rumah. Tidak ada yang tahu percisnya kapan dia menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu ku lihat Desi sangat terpukul kehilangan ibunya, begitu pula ayahnya dan kakaknya.
Satu tahun berlalu, Desi bercerita banyak sekali tetangganya yang mau mendekati ayahnya begitupun dengan orang-orang di kantor ayahnya.
"Gile bener Nin, bapak gue banyak banget yang deketin setelah ibu gua sudah tidak ada"
"Masa sih Des?"
"Iya.. gua juga awalnya tidak percaya.. tapi itulah yang terjadi"
"Yang lo tahu, mereka suka dari bapak lo, dimananya?"
"Katanya sih, bapak gua berwibawa, rajin ibadah, baik, berbicara santun.. itu sih yang gua tahu dan yang suka bukan di lingkungan sini aja tapi di lingkungan kantornya juga"
"Oh ya.. luar biasa yah bapak lo"
Tadinya aku ingin bercerita sama Desi bahwa aku juga suka dengan Ayahnya. Tapi tidak jadi aku lakukan karena terus terang aku malu.
Berjalannya waktu umurku semakin bertambah, saat ini umurku sudah menginjak 23 tahun. Aku sudah harus memikirkan untuk menikah, tapi aku malu kalau harus bilang ke Pak Sanusi jika aku cinta dengannya. Hingga akhirnya 2 tahun berlalu tanpa bicara dan kata apapun ke Pak Sanusi.
Di usiaku yang ke 25 tahun ini, aku coba beranikan diri berbicara ke Pak Sanusi.
Hari itu adalah hari senin, aku lihat Pak Sanusi sedang mengeluarkan mobil menuju kantor, akupun sudah rapi dan berangkat dengan berjalan kaki. Di tengah jalan Pak Sanusi mengajakku untuk ikut bareng dengannya. Untung saja rencanaku berhasil sehingga aku bisa berbicara kepada Pak Sanusi.
"Assalamu alaikum Pak"
"Wa'alaikum salam"
"Yuk ikut bareng, kamu mau kemana?"
"Saya mau kerja di Sudirman pak"
"Oh, ya sudah kita bisa bareng tuh.. Yuk naik!"
"Oh, gitu pak.. oke"
Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di depan, di sebelahnya Pak Sanusi.
"Tidak apa-apa nih Pak.. saya duduk di depan?"
"Tidak apa-apa donk.. emang kenapa?"
"Enggak sih pak! takut salah aja"
"Apa yang salah?"
"Tidak apa-apa Pak"
"Kamu sudah lama kerja di Sudirman?"
"Baru 3 bulan pak"
"Oh, baru yah.. langsung karyawan tetap apa masih kontrak?"
"Masih kontrak Pak"
Kami terdiam sejenak.. lalu aku melanjutkan pembicaraan..
"Saya dengar bapak banyak yang suka yah?"
"Ah kamu bisa saja, sudah tua begini siapa yang suka sama saya"
"Jujur ya pak, saya juga suka sama Bapak"
"Kamu becanda apa serius?"
"Serius lah Pak, bagi saya Bapak sosok yang saya idamkan"
"Bisa aja kamu, saya tuh sudah tua, umur saja sudah 58 tahun. 2 tahun lagi saya sudah pensiun bekerja"
"Memang Bapak tidak kepikiran untuk menikah lagi?"
"Ada sih.. tapi tenaga saya sudah mulai lemah, saya tidak bisa lagi begitu-begituan kayak waktu muda dulu"
"Tapi menurut saya bapak masih terlihat sehat, kuat dan kayaknya belum tua-tua amat"
"Kamu mau jalan sama kakek-kakek, terus umur saya juga tidak tahu sampai kapan lagi, nanti kalau saya sakit. kamu malah ngurusin saya, tidak bisa senang-senang lagi"
"Saya sudah pikirkan semuanya pak, saya siap dengan segala resikonya"
"Kamu yakin?"
"Yakin Pak"
"Ya, sudah nanti saya bicarakan dulu dengan Aldi dan Desi yah.. mereka setuju atau tidak. Kamu juga harus bilang kepada orang tua kamu yah"
"Iya Pak.. terima kasih yah"
Malam, sepulang kerja, aku langsung bicara dengan Ayah dan Ibuku. Awalnya mereka menolak, tapi akhirnya luluh juga dan mau menuruti kemauanku. Itupun harus menunggu 6 bulan lamanya, setelah aku sakit dan menjadi pemurung.
Tepat setahun setelah itu aku dengan Pak Sanusi menikah. saat itu aku berumur 26 tahun dan Pak Sanusi berumur 59 tahun, kami beda usia 33 tahun. Banyak yang bilang pernikahanku gila dan gak waras. Tapi semua itu aku cuekin saja. Aldi dan Desi juga bingung harus memanggil aku apa!.
1 tahun kemudian aku melahirkan anak wanita dari pernikahanku. Sampai saat ini sudah 6 tahun pernikahan, aku semakin nyaman dan anak ku sudah sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Tidak ada konflik yang terjadi, namun aku harus menjadi kepala rumah tangga, karena suamiku sudah pensiun saat anakku lahir. (KK)
-- DH --
"Assalamu alaikum"
"Wa'alaikum salam.. Eh, kamu Nina. Ada apa? Nyari Desi yah? "
"Enggak kok Pak.. Saya cuma antar ini, titipan dari ibu"
"Apa ini?"
"Oleh-oleh pak dari Jogja"
"Waduh.. Pake' Repot-repot, antar kue segala.. Sampaikan terima kasihku yah sama kedua orang tua kamu. Bilang.. Kami sangat senang menerima oleh-oleh ini"
"Iya pak, saya pamit yah Pak"
"Oke"
"Assalamu alaikum"
"Wa alaikum salam
Saat ini aku dan Desi tidak satu sekolahan. Namun kita masih sering ketemu saat ada acara di lingkunganku. Kami juga masih sering jalan ke mall atau makan di dekat rumah. Terkadang pacar Desi ikut bersama dengan kita. Pacar Desi adalah teman satu sekolahannya mereka bertemu saat orientasi siswa waktu masuk kelas satu tahun kemarin.
Waktu berjalan begitu cepatnya, hingga saat ini aku masih belum mempunyai pacar. Yang ada hanya teman dekat pria saja, memang tidak bisa dipungkiri bahwa, banyak yang menyukai aku bahkan ada yang sangat tergila-gila denganku. Sampai-sampai dia tahu apa yang saat ini sedang aku lakukan dan kemana saja aku pergi. Namun itu semua masih belum membuatku tertarik dengan mereka.
Pernah aku suka dengan pria yang sudah sangat dekat denganku. Mario namanya, awal kedekatanku dengannya, aku belum mempunyai perasaan, namun lama kelamaan aku menjadi sedikit tertarik dengannya. Tetapi setelah aku tahu sangat banyak teman wanitanya, aku mulai menjaga jarak dengannya.
Bagiku sangat sulit membandingkan Pak Sanusi dengan banyak pria yang selama ini aku kenal. Dari kecil aku kenal dengan Pak Sanusi bagiku dia tetap yang terbaik sampai dengan saat ini.
Saat aku berada di rumah Desi, saat ada Pak Sanusi, aku rela menghabiskan waktu di rumahnya hingga seharian. Tapi lebih menyebalkan jika ada kak Aldi, kak Aldi sering sekali menggodaku. Dia bahkan pernah mengajakku jalan atau makan malam berdua di luar. Pernah sih aku turuti kemauannya, tapi itu disaat aku malas berada di rumah.
Pernah aku dengan Desi mengobrol bahwa kakaknya memang suka denganku sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama) dulu.
"Nin lo tahu gak? "
"Kenapa? "
"Itu kakak gua, kemaren cerita dengan gua.. Kalau dia cinta sama kamu! "
"Masa sih"
"Iya bener"
"Beneran? "
"Awalnya sih.. Gua gak percaya.. Tapi setelah dia cerita gua percaya kalau dia bener cinta sama lo"
"Gua sih sudah curiga.. Karena tau gak.. Dia sering ngajak jalan gua, tapi gua gak mau kepedean aja"
"Dia suka lo, dari sejak kita SMP"
"Oh.. Ya, sudah dari sejak lama yah.. "
"Hehehehe.. " kita tertawa bareng
Di keluarganya aku sudah dianggap anak oleh Pak Sanusi. Karena memang aku sangat sering bermain ke rumahnya. Berbeda sebaliknya dengan Desi, paling setahun sekali ke rumahku itupun saat hari Lebaran (Idul Fitri).
Sekarang aku sudah mulai kuliah, hubunganku dengan Desi sudah mulai renggang. Namun aku masih curi pandang dengan Pak Sanusi. Aku tahu saat dia akan berangkat kerja atau pulang kerja, aku juga tahu saat dia menyiram tanaman dan rajin menyapu rumah.
Hingga suatu hari aku dengar ibunya Desi meninggal saat dia sedang tertidur di rumah. Tidak ada yang tahu percisnya kapan dia menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu ku lihat Desi sangat terpukul kehilangan ibunya, begitu pula ayahnya dan kakaknya.
Satu tahun berlalu, Desi bercerita banyak sekali tetangganya yang mau mendekati ayahnya begitupun dengan orang-orang di kantor ayahnya.
"Gile bener Nin, bapak gue banyak banget yang deketin setelah ibu gua sudah tidak ada"
"Masa sih Des?"
"Iya.. gua juga awalnya tidak percaya.. tapi itulah yang terjadi"
"Yang lo tahu, mereka suka dari bapak lo, dimananya?"
"Katanya sih, bapak gua berwibawa, rajin ibadah, baik, berbicara santun.. itu sih yang gua tahu dan yang suka bukan di lingkungan sini aja tapi di lingkungan kantornya juga"
"Oh ya.. luar biasa yah bapak lo"
Tadinya aku ingin bercerita sama Desi bahwa aku juga suka dengan Ayahnya. Tapi tidak jadi aku lakukan karena terus terang aku malu.
Berjalannya waktu umurku semakin bertambah, saat ini umurku sudah menginjak 23 tahun. Aku sudah harus memikirkan untuk menikah, tapi aku malu kalau harus bilang ke Pak Sanusi jika aku cinta dengannya. Hingga akhirnya 2 tahun berlalu tanpa bicara dan kata apapun ke Pak Sanusi.
Di usiaku yang ke 25 tahun ini, aku coba beranikan diri berbicara ke Pak Sanusi.
Hari itu adalah hari senin, aku lihat Pak Sanusi sedang mengeluarkan mobil menuju kantor, akupun sudah rapi dan berangkat dengan berjalan kaki. Di tengah jalan Pak Sanusi mengajakku untuk ikut bareng dengannya. Untung saja rencanaku berhasil sehingga aku bisa berbicara kepada Pak Sanusi.
"Assalamu alaikum Pak"
"Wa'alaikum salam"
"Yuk ikut bareng, kamu mau kemana?"
"Saya mau kerja di Sudirman pak"
"Oh, ya sudah kita bisa bareng tuh.. Yuk naik!"
"Oh, gitu pak.. oke"
Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di depan, di sebelahnya Pak Sanusi.
"Tidak apa-apa nih Pak.. saya duduk di depan?"
"Tidak apa-apa donk.. emang kenapa?"
"Enggak sih pak! takut salah aja"
"Apa yang salah?"
"Tidak apa-apa Pak"
"Kamu sudah lama kerja di Sudirman?"
"Baru 3 bulan pak"
"Oh, baru yah.. langsung karyawan tetap apa masih kontrak?"
"Masih kontrak Pak"
Kami terdiam sejenak.. lalu aku melanjutkan pembicaraan..
"Saya dengar bapak banyak yang suka yah?"
"Ah kamu bisa saja, sudah tua begini siapa yang suka sama saya"
"Jujur ya pak, saya juga suka sama Bapak"
"Kamu becanda apa serius?"
"Serius lah Pak, bagi saya Bapak sosok yang saya idamkan"
"Bisa aja kamu, saya tuh sudah tua, umur saja sudah 58 tahun. 2 tahun lagi saya sudah pensiun bekerja"
"Memang Bapak tidak kepikiran untuk menikah lagi?"
"Ada sih.. tapi tenaga saya sudah mulai lemah, saya tidak bisa lagi begitu-begituan kayak waktu muda dulu"
"Tapi menurut saya bapak masih terlihat sehat, kuat dan kayaknya belum tua-tua amat"
"Kamu mau jalan sama kakek-kakek, terus umur saya juga tidak tahu sampai kapan lagi, nanti kalau saya sakit. kamu malah ngurusin saya, tidak bisa senang-senang lagi"
"Saya sudah pikirkan semuanya pak, saya siap dengan segala resikonya"
"Kamu yakin?"
"Yakin Pak"
"Ya, sudah nanti saya bicarakan dulu dengan Aldi dan Desi yah.. mereka setuju atau tidak. Kamu juga harus bilang kepada orang tua kamu yah"
"Iya Pak.. terima kasih yah"
Malam, sepulang kerja, aku langsung bicara dengan Ayah dan Ibuku. Awalnya mereka menolak, tapi akhirnya luluh juga dan mau menuruti kemauanku. Itupun harus menunggu 6 bulan lamanya, setelah aku sakit dan menjadi pemurung.
Tepat setahun setelah itu aku dengan Pak Sanusi menikah. saat itu aku berumur 26 tahun dan Pak Sanusi berumur 59 tahun, kami beda usia 33 tahun. Banyak yang bilang pernikahanku gila dan gak waras. Tapi semua itu aku cuekin saja. Aldi dan Desi juga bingung harus memanggil aku apa!.
1 tahun kemudian aku melahirkan anak wanita dari pernikahanku. Sampai saat ini sudah 6 tahun pernikahan, aku semakin nyaman dan anak ku sudah sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Tidak ada konflik yang terjadi, namun aku harus menjadi kepala rumah tangga, karena suamiku sudah pensiun saat anakku lahir. (KK)
-- DH --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar