Sejak kecil aku tinggal di Jakarta, hiruk pikuk Jakarta sangat aku pahami. Waktu aku kecil lingkungan tempat tinggalku kebanyakan masih berupa kebun buah yang luas. Hanya sedikit sekali rumah dan letaknya pun berjauhan. Begitulah Jakarta tempo dulu, yang masih sangat asri, begitupun dengan sungainya (sungai Ciliwung).
Saat lebaran tiba, suasana lingkungan rumahku sangat kekeluargaan, semua tetanggaku saling mengunjungi untuk bermaaf-maafan. Yang bikin aku iri saat lebaran tuh jika melihat teman-temanku dan tetanggaku yang setiap lebaran mudik atau pulang kampung, rasanya pengen seperti mereka yang bisa merayakan dengan keluarga besar dan leluhurnya. Namun berbeda denganku sampai usiaku sekarang ini 21 tahun. Aku belum pernah ke kampung Bapak dan Ibuku. Dulu waktu kecil Ibuku pernah cerita jika aku tinggal di Kampung Tanjungan, Sumatera Selatan.
Saat lebaran tiba, suasana lingkungan rumahku sangat kekeluargaan, semua tetanggaku saling mengunjungi untuk bermaaf-maafan. Yang bikin aku iri saat lebaran tuh jika melihat teman-temanku dan tetanggaku yang setiap lebaran mudik atau pulang kampung, rasanya pengen seperti mereka yang bisa merayakan dengan keluarga besar dan leluhurnya. Namun berbeda denganku sampai usiaku sekarang ini 21 tahun. Aku belum pernah ke kampung Bapak dan Ibuku. Dulu waktu kecil Ibuku pernah cerita jika aku tinggal di Kampung Tanjungan, Sumatera Selatan.
Ini lah ceritaku, sebenernya sedih sih kalau aku harus ceritakan hal ini, tapi tidak apalah. Bapakku meninggal saat aku masih bayi sedangkan ibuku saat aku Sekolah Dasar (SD), dari saat itu aku hidup berdua dengan adikku yang bernama Laras. Setelah kedua orang tuaku meninggal, aku harus bekerja untuk keperluan hidupku sehari-hari dan juga untuk sekolahku berdua. Setiap harinya aku menjual koran dan mencari duit dengan cara menjadi juru parkir.
Lelah sih terkadang, karena harus tiap hari membagi waktu untuk sekolah, bekerja dan menjaga adik di rumah. Aku berjalan ke lampu merah terdekat, kemudian menjajakan koran saat lampu menyala merah. Terkadang aku musti kejar-kejaran dengan petugas keamanan. Ternyata memang tidak mudah mencari duit dengan halal, semua ada resiko dan banyak kendala.
Syukurnya rumah yang aku tinggali adalah rumah sendiri, peninggalan dari orang tuaku. Sekolahpun kami berdua selalu mendapat beasiswa dari pemerintah, karena kami memang murid berprestasi. Sekarang adikku sudah lulus sekolah dan melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia.
"Ada keperluan apa bapak dan ibu datang ke sini? "
"Kami ingin ketemu cucu kami Laras"
"Laras adikku?"
"Ya"
"Berarti bapak dan ibu adalah kakek nenek aku juga dong? "
"Begini ceritanya nak Basuki, 20 tahun yang lalu bapak dan ibunya Laras terlibat kecelakaan di jalan. Motor yang dibawa bapaknya Laras ditabrak truk pembawa tanah. Ibunya meninggal di lokasi kejadian sedangkan bapaknya saat di rumah sakit. Saya dan istri saya saat itu bingung dengan siapa Laras akan diurus. Karena kami untuk mengurus diri sendiri saja kerepotan, untungnya ibu kamu dengan senang hati mau menerima dan membesarkan Laras.
Kami tahu, mungkin kedatangan kami sangat mengejutkan dan susah diterima oleh kamu. Tapi tenang saja, kami hanya ingin melihat dia saja, tanpa mengatakan apapun kepadanya."
"Iya kek nek.. Aku mengerti.. Sekarang terserah kalian saja ingin menceritakan kepada Laras atau tidak. Karena umur Laras juga sudah cukup, dia sudah kuliah sekarang"
Akupun pergi ke kamar Laras untuk membangunkannya. Diapun segera ke kamar mandi untuk cuci muka. Saat dia menghampiri kami di ruang tamu, kakek dan neneknya langsung memeluknya dan menangis.
" Kakek dan nenek kok menangis? Maaf kalian sebenarnya siapa?"
"Tadi kami sudah cerita dengan kakakmu. Biar dia saja yang menceritakan yah"
"Oh, ya sudah. Aku bikin minum dulu yah"
Laras pergi ke dapur tidak lama, kemudian kembali dengan membawa 4 gelas teh manis hangat serta roti coklat yang dibuatnya sendiri.
Kami bercerita panjang lebar dan syukur Laura bisa menerima semua kejadian tersebut. Sejak saat itu Laura rajin mengunjungi kakek dan neneknya serta berziarah ke makam bapak dan ibunya.
Saat memasuki bulan puasa, aku dan Laura berencana pergi mengunjungi kampung Bapak dan Ibuku di Palembang. Aku berencana berangkat 2 hari sebelum lebaran.
Saat berangkat ke sana aku hanya mengandalkan google maps saja. Aku tidak tahu bagaimana dan seperti apa kampung halaman orang tuaku. Alhamdulillah semua berjalan lancar, aku sampai di kampung yang ingin aku tuju.
Kami pergi ke Kepala Desa, di kampung tersebut. Bertanya mengenai keberadaan keluarga besar orang tuaku. Ternyata tidak sulit menemukan kelarga besar orang tuaku. Kepala Desapun bercerita banyak mengenai kepergian orang tuaku dari Desa ini.
Kepala Desa mengantarkan aku ke rumah kakek nenekku. Ternyata mereka masih sehat semua. Kami dipersilahkan masuk dan sambutan mereka sangat hangat. Sehingga kami dipersiapkan kamar untuk menginap seminggu ke depan.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu kalian cucu-cucuku" kakek berkata dengan sedikit bercucuran air mata..
"Iya Kek Nek, kami ke sini memang sengaja mencari keberadaan keluarga besar dari Bapak dan Ibuku. Alhamdulillah sekarang sudah bertemu dan bisa berkumpul bersama."
"Ia cucuku.. waktu kepergian Bapakmu.. Kakek terlalu keras kepadanya. Jadi 24 tahun yang lalu aku dengan Bapakmu ribut besar. Kami bertengkar karena Bapakmu tidak mau mengikuti anjuran keluarga untuk menikah dengan anak teman Kakek. Hingga akhirnya dia pergi dari desa entah kemana. Yang kakek dengar dari orang-orang Bapakmu pergi ke kota Jakarta. Namun orang-orang juga tidak tahu di mana Bapakmu berada. Hingga hari ini kamu ke sini. Saya baru Tahu Herman sudah meninggal 22 tahun yang lalu. Terus kakek coba berusaha mencarinya setelah 5 tahun kejadian itu, tetapi tidak berhasil"
"Iya Kek.. aku sudah dengar dari Pak Kepala Desa, beliau sudah bercerita banyak ke kami. Ya sudahlah Kek doakan yang terbaik untuk Bapak dan Ibu"
"Jadi Bapak dan Ibu kamu sudah meninggal?"
"Iya Kek"
"Aku menyesal sudah terlalu keras kepadanya.. memang waktu itu yang kakek ketahui Bapak kamu sudah berpacaran dengan anak gadis yang rumahnya di ujung kampung ini. Nanti kamu akan diantar Paman kamu ke keluarga Ibumu"
"Iya Kek, tapi kalau boleh tahu kenapa waktu itu kakek begitu marahnya ke Bapak hingga Bapak harus pergi meninggalkan kampung halaman ini?"
"Iya dulu kakek menganggap Ibumu tidak layak untuk dinikahi karena dia anak yang tidak punya orang tua dan keluarga"
"Maksudnya tidak punya orang tua dan keluarga apa ya Kek?"
"Maksud Kakek, orang tuanya tidak tahu di mana. Ibumu dibesarkan oleh Kakek Neneknya dan dia adalah anak semata wayang. Ya sudahlah.. Kakek tidak mau cerita lagi, ini cuma menambah kesedihan kakek saja.. Kakek minta maaf ke kamu atas kesalahan di masa lalu Kakek."
"Iya Kek, kita lupakan semua yang sudah lewat yah.. Aku di sini cuma mau senang-senang dan mengenal keluarga besarku"
Kemudian sore harinya Aku dan Laras diantar ke keluarga besar Ibuku yang terletak di ujung kampung, aku hanya bertemu dengan paman dari ibuku atau kakak dari ibuku. Sedangkan Kakek Nenek Buyutku sudah lama meninggal.
Di sinilah aku belajar bahwa begitu kuatnya cinta Bapak dan Ibuku. Hingga mereka harus terusir dari kampung halamannya sendiri. Cintanya yang kuat pula yang membuat Ibuku tidak menikah lagi sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Tadinya aku curiga dengan adikku, karena menurut cerita ibuku, pada saat aku kecil, dia berkata 'Jika Bapak meninggal saat aku masih bayi'. Lalu bagaimana dengan Laura? hingga akhirnya semua itu terjawab.
Lebaran tiba, baru kali ini aku bisa merayakan lebaran di kampung, sudah sejak lama sekali aku merindukan hari seperti saat ini. Di saat selesai solat Idul fitri, mataku tertancap pada wanita yang ada di seberang jalan, gadis manis yang membuat hatiku bergetar. Di hari itu aku dan adikku sangat sibuk keliling kampung. Hingga membuat kami sangat senang dan bisa berkenalan dengan semua orang di kampung tersebut. Aku mengunjungi banyak rumah keluargaku, hingga perutku sangat kekenyangan, karena harus makan di setiap rumah. Itu semua untuk menghargai penghuni rumah. Saat sore hari itu aku bertemu kembali wanita, yang tadi pagi membuat mataku tidak berkedip dan jantungku berdegup keras bahkan kaki ini menjadi sulit melangkah. Dia ku lihat sedang berjalan menuju sungai.
Aku beranikan diri untuk berkenalan dengannya, aku mengejarnya dan menyapanya.
"Hai, boleh berkenalan.. namaku Basuki" aku menyodorkan tanganku untuk bersalaman dengannya"
"Namaku Siti"
"Kamu mau ke mana?"
"Kalau bawa ember pakaian dan peralatan mandi seperti ini, kira-kira menurut kamu mau ke mana?"
"Oh, saya tahu, pasti mau ke ladang yah?"
"Iya, kok tahu"
"Tebakanku benarkan.. siapa dulu dong"
"Ah sudah sana, ganggu aja sih!"
"Boleh minta nomor teleponnya gak?"
"Memang mau apa? sampe minta nomor telpon segala.."
"Mau mendekatkan hati yang belum dekat terus mau ajak kamu berburu?"
"Berburu! berburu apa?"
"Berburu cinta.. hehehe!"
"Gak lucu"
"Memang iya.. aku kan ngomong serius.. bukan mau ngelucu"
"Sana ah.. baru kenal sudah sok akrab"
"Kalau kamu, kasih nomor telpon kamu.. baru aku pergi deh"
"Bener yah!"
"Pengen banget sih aku pergi.. entar kalau aku sudah pergi kamu sedih lagi"
"Sedih.. ih amit-amit.."
"Ni nomor ku.. catat.. 08............."
"Oke.. aku telpon balik yah!"
"Aku gak bawa telepon.. lagi pula ngapain mau mandi bawa-bawa telepon"
"Iya.. iya.. terima kasih yah"
Tidak terasa sudah seminggu aku di kampung Tanjungan. Aku sudah harus kembali ke Jakarta. Suasana haru sebelum keberangkatan terjadi di pagi itu. Rasanya tidak ingin aku meninggalkan kampung ini. Aku sudah betah banget di kampung ini. (KK)
-- DH --
Lelah sih terkadang, karena harus tiap hari membagi waktu untuk sekolah, bekerja dan menjaga adik di rumah. Aku berjalan ke lampu merah terdekat, kemudian menjajakan koran saat lampu menyala merah. Terkadang aku musti kejar-kejaran dengan petugas keamanan. Ternyata memang tidak mudah mencari duit dengan halal, semua ada resiko dan banyak kendala.
Syukurnya rumah yang aku tinggali adalah rumah sendiri, peninggalan dari orang tuaku. Sekolahpun kami berdua selalu mendapat beasiswa dari pemerintah, karena kami memang murid berprestasi. Sekarang adikku sudah lulus sekolah dan melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia.
Tidak terasa aku sekarang sudah bekerja di kantor kementrian di Jakarta, sedangkan adikku sudah kuliah semester 5. Kita masih tinggal di rumah peninggalan orang tuaku.
Pada suatu hari disaat kita sedang asik menonton televisi. Ada orang tua datang, yang aku lihat dia sudah sangat tua, mungkin umurnya sudah diatas 80 tahun. Akupun menyuruh mereka masuk."Ada keperluan apa bapak dan ibu datang ke sini? "
"Kami ingin ketemu cucu kami Laras"
"Laras adikku?"
"Ya"
"Berarti bapak dan ibu adalah kakek nenek aku juga dong? "
"Begini ceritanya nak Basuki, 20 tahun yang lalu bapak dan ibunya Laras terlibat kecelakaan di jalan. Motor yang dibawa bapaknya Laras ditabrak truk pembawa tanah. Ibunya meninggal di lokasi kejadian sedangkan bapaknya saat di rumah sakit. Saya dan istri saya saat itu bingung dengan siapa Laras akan diurus. Karena kami untuk mengurus diri sendiri saja kerepotan, untungnya ibu kamu dengan senang hati mau menerima dan membesarkan Laras.
Kami tahu, mungkin kedatangan kami sangat mengejutkan dan susah diterima oleh kamu. Tapi tenang saja, kami hanya ingin melihat dia saja, tanpa mengatakan apapun kepadanya."
"Iya kek nek.. Aku mengerti.. Sekarang terserah kalian saja ingin menceritakan kepada Laras atau tidak. Karena umur Laras juga sudah cukup, dia sudah kuliah sekarang"
Akupun pergi ke kamar Laras untuk membangunkannya. Diapun segera ke kamar mandi untuk cuci muka. Saat dia menghampiri kami di ruang tamu, kakek dan neneknya langsung memeluknya dan menangis.
" Kakek dan nenek kok menangis? Maaf kalian sebenarnya siapa?"
"Tadi kami sudah cerita dengan kakakmu. Biar dia saja yang menceritakan yah"
"Oh, ya sudah. Aku bikin minum dulu yah"
Laras pergi ke dapur tidak lama, kemudian kembali dengan membawa 4 gelas teh manis hangat serta roti coklat yang dibuatnya sendiri.
Kami bercerita panjang lebar dan syukur Laura bisa menerima semua kejadian tersebut. Sejak saat itu Laura rajin mengunjungi kakek dan neneknya serta berziarah ke makam bapak dan ibunya.
Saat memasuki bulan puasa, aku dan Laura berencana pergi mengunjungi kampung Bapak dan Ibuku di Palembang. Aku berencana berangkat 2 hari sebelum lebaran.
Saat berangkat ke sana aku hanya mengandalkan google maps saja. Aku tidak tahu bagaimana dan seperti apa kampung halaman orang tuaku. Alhamdulillah semua berjalan lancar, aku sampai di kampung yang ingin aku tuju.
Kami pergi ke Kepala Desa, di kampung tersebut. Bertanya mengenai keberadaan keluarga besar orang tuaku. Ternyata tidak sulit menemukan kelarga besar orang tuaku. Kepala Desapun bercerita banyak mengenai kepergian orang tuaku dari Desa ini.
Kepala Desa mengantarkan aku ke rumah kakek nenekku. Ternyata mereka masih sehat semua. Kami dipersilahkan masuk dan sambutan mereka sangat hangat. Sehingga kami dipersiapkan kamar untuk menginap seminggu ke depan.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu kalian cucu-cucuku" kakek berkata dengan sedikit bercucuran air mata..
"Iya Kek Nek, kami ke sini memang sengaja mencari keberadaan keluarga besar dari Bapak dan Ibuku. Alhamdulillah sekarang sudah bertemu dan bisa berkumpul bersama."
"Ia cucuku.. waktu kepergian Bapakmu.. Kakek terlalu keras kepadanya. Jadi 24 tahun yang lalu aku dengan Bapakmu ribut besar. Kami bertengkar karena Bapakmu tidak mau mengikuti anjuran keluarga untuk menikah dengan anak teman Kakek. Hingga akhirnya dia pergi dari desa entah kemana. Yang kakek dengar dari orang-orang Bapakmu pergi ke kota Jakarta. Namun orang-orang juga tidak tahu di mana Bapakmu berada. Hingga hari ini kamu ke sini. Saya baru Tahu Herman sudah meninggal 22 tahun yang lalu. Terus kakek coba berusaha mencarinya setelah 5 tahun kejadian itu, tetapi tidak berhasil"
"Iya Kek.. aku sudah dengar dari Pak Kepala Desa, beliau sudah bercerita banyak ke kami. Ya sudahlah Kek doakan yang terbaik untuk Bapak dan Ibu"
"Jadi Bapak dan Ibu kamu sudah meninggal?"
"Iya Kek"
"Aku menyesal sudah terlalu keras kepadanya.. memang waktu itu yang kakek ketahui Bapak kamu sudah berpacaran dengan anak gadis yang rumahnya di ujung kampung ini. Nanti kamu akan diantar Paman kamu ke keluarga Ibumu"
"Iya Kek, tapi kalau boleh tahu kenapa waktu itu kakek begitu marahnya ke Bapak hingga Bapak harus pergi meninggalkan kampung halaman ini?"
"Iya dulu kakek menganggap Ibumu tidak layak untuk dinikahi karena dia anak yang tidak punya orang tua dan keluarga"
"Maksudnya tidak punya orang tua dan keluarga apa ya Kek?"
"Maksud Kakek, orang tuanya tidak tahu di mana. Ibumu dibesarkan oleh Kakek Neneknya dan dia adalah anak semata wayang. Ya sudahlah.. Kakek tidak mau cerita lagi, ini cuma menambah kesedihan kakek saja.. Kakek minta maaf ke kamu atas kesalahan di masa lalu Kakek."
"Iya Kek, kita lupakan semua yang sudah lewat yah.. Aku di sini cuma mau senang-senang dan mengenal keluarga besarku"
Kemudian sore harinya Aku dan Laras diantar ke keluarga besar Ibuku yang terletak di ujung kampung, aku hanya bertemu dengan paman dari ibuku atau kakak dari ibuku. Sedangkan Kakek Nenek Buyutku sudah lama meninggal.
Di sinilah aku belajar bahwa begitu kuatnya cinta Bapak dan Ibuku. Hingga mereka harus terusir dari kampung halamannya sendiri. Cintanya yang kuat pula yang membuat Ibuku tidak menikah lagi sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Tadinya aku curiga dengan adikku, karena menurut cerita ibuku, pada saat aku kecil, dia berkata 'Jika Bapak meninggal saat aku masih bayi'. Lalu bagaimana dengan Laura? hingga akhirnya semua itu terjawab.
Lebaran tiba, baru kali ini aku bisa merayakan lebaran di kampung, sudah sejak lama sekali aku merindukan hari seperti saat ini. Di saat selesai solat Idul fitri, mataku tertancap pada wanita yang ada di seberang jalan, gadis manis yang membuat hatiku bergetar. Di hari itu aku dan adikku sangat sibuk keliling kampung. Hingga membuat kami sangat senang dan bisa berkenalan dengan semua orang di kampung tersebut. Aku mengunjungi banyak rumah keluargaku, hingga perutku sangat kekenyangan, karena harus makan di setiap rumah. Itu semua untuk menghargai penghuni rumah. Saat sore hari itu aku bertemu kembali wanita, yang tadi pagi membuat mataku tidak berkedip dan jantungku berdegup keras bahkan kaki ini menjadi sulit melangkah. Dia ku lihat sedang berjalan menuju sungai.
Aku beranikan diri untuk berkenalan dengannya, aku mengejarnya dan menyapanya.
"Hai, boleh berkenalan.. namaku Basuki" aku menyodorkan tanganku untuk bersalaman dengannya"
"Namaku Siti"
"Kamu mau ke mana?"
"Kalau bawa ember pakaian dan peralatan mandi seperti ini, kira-kira menurut kamu mau ke mana?"
"Oh, saya tahu, pasti mau ke ladang yah?"
"Iya, kok tahu"
"Tebakanku benarkan.. siapa dulu dong"
"Ah sudah sana, ganggu aja sih!"
"Boleh minta nomor teleponnya gak?"
"Memang mau apa? sampe minta nomor telpon segala.."
"Mau mendekatkan hati yang belum dekat terus mau ajak kamu berburu?"
"Berburu! berburu apa?"
"Berburu cinta.. hehehe!"
"Gak lucu"
"Memang iya.. aku kan ngomong serius.. bukan mau ngelucu"
"Sana ah.. baru kenal sudah sok akrab"
"Kalau kamu, kasih nomor telpon kamu.. baru aku pergi deh"
"Bener yah!"
"Pengen banget sih aku pergi.. entar kalau aku sudah pergi kamu sedih lagi"
"Sedih.. ih amit-amit.."
"Ni nomor ku.. catat.. 08............."
"Oke.. aku telpon balik yah!"
"Aku gak bawa telepon.. lagi pula ngapain mau mandi bawa-bawa telepon"
"Iya.. iya.. terima kasih yah"
Tidak terasa sudah seminggu aku di kampung Tanjungan. Aku sudah harus kembali ke Jakarta. Suasana haru sebelum keberangkatan terjadi di pagi itu. Rasanya tidak ingin aku meninggalkan kampung ini. Aku sudah betah banget di kampung ini. (KK)
-- DH --