Aku tinggal di perkampungan padat penduduk di sebuah daerah di Jakarta, memiliki banyak teman sangatlah menyenangkan. Setiap pulang sekolah aku bermain bersama teman-teman sebayaku disebuah tanah kosong di lingkungan tempat tinggalku. Bermain, berlari, tertawa, bercanda tanpa ada rasa tersinggung dan marah. Kami semua tidak pernah ada yang berkelahi semua dilalui dengan keceriaan.
Semakin hari kita semakin dewasa, semakin ada ketertarikan dengan lawan jenis. Aku adalah seorang yang pemalu, walau di lingkunganku ada wanita yang aku taksir, aku hanya bisa diam saja dan menyimpan perasaan ini hanya di hati.
Saat ini aku sudah bekerja, setiap hari aku menggunakan transportasi umum yaitu kereta, berangkat dari stasiun Lenteng Agung hingga Gondangdia. Begitupun saat pulang, kesendirianku sangat kurasa hingga saat ini. Walau memiliki banyak teman di rumah dan begitupun dijalan akan tetapi hati ini belum juga ada yang mengisi.
Hingga umurku beranjak memasuki 30 tahun. Saat ini aku mulai resah, melihat teman seumuranku sudah pada menikah dan ada yang sudah memiliki anak. Dalam hatiku aku hanya bisa berdoa, memohon kepada Allah untuk diberikan yang terbaik. Banyak temanku yang menanyakan statusku, namun aku hanya bisa menjawab 'Doain aja yah, semoga bisa cepat menikah'.
Semakin lama aku semakin benci dan bingung harus menjawab apa ke teman-temanku. Hingga ada yang beranggapan bahwa aku penyuka sesama jenis. Jelas aku marah kepada mereka akan hal ini, karena aku sangat menyukai wanita, namun aku tidak berani mendekati mereka dan berkata 'aku sayang kamu'.
Hingga dihari itu suatu peristiwa terjadi, ada sebuah mobil sedan berjalan oleng kemudian berhenti di tengah jalan. Karena berhenti percis di hadapanku, akupun menghampirinya. Ternyata dia adalah wanita yang sangat cantik.
"Hallo mba tidak apa-apa?"
"Dada saya sakit mas, bisa tolong saya mas?"
"Yuk saya bantu antar ke Rumah Sakit"
"Terima kasih mas"
Dia turun dari mobil dan aku mengambil kendali. Dia duduk di sampingku sambil memegang dadanya yang sakit. Akupun melajukan mobil ke arah rumah sakit terdekat. Diperjalanan ku lihat dia semakin lemas dan pucat. Aku berusaha tidak panik dan tetap fokus, ku coba pacu kendaraan secepat mungkin di dalam kemacetan ibu kota, ku hidupkan lampu sen kiri kanan (tanda bahwa ada bahaya di dalam mobil yang aku pacu). Sampai di rumah sakit, dengan sigap dokter dan perawat menanganinya. Akupun mencoba mencari telepon selulernya, yang ternyata ada di dalam tasnya. Namun aku kesulitan membukanya karena butuh sidik jarinya. Al hasil aku tidak bisa menghubungi keluarganya dan harus menunggu dirinya selesai ditangani.
Hari itu aku tidak bekerja, sampai malam hari aku menunggunya. Hingga keluarganya pun menelpon di telepon selulernya, aku segera mengangkatnya.
"Hallo.. Hallo.."
"Siapa kamu?"
"Saya Zainal bu"
"Mana anak saya Fatin?"
"Tadi saya menolong anak ibu, karena dadanya sakit. Saat ini saya masih menunggunya sadar di rumah sakit"
"Rumah sakit mana?"
"PGI Cikini"
"Oke.. terima kasih"
Setelah menutup teleponnya. Satu jam kemudian keluarganya datang. Aku menjelaskan sebaik mungkin kepada keluarganya. Kemudian aku pamit dengan mereka semua sambil memberikan kunci mobil dan tas milik Fatin.
"Nak Zainal.. ini ucapan terima kasih dari kami.." memberikan amplop putih di tangan ke arahku..
"Tidak usah bu.. aku ikhlas menolong Fatin" sambil menolak tangan ibu Fatin..
"Saya pamit bu.. semoga Fatin cepat kembali pulih dan bisa beraktifitas kembali"
"Terima kasih ya nak Zainal"
"Sama-sama bu"
Aktifitasku berjalan seperti biasanya. Hingga 6 bulan kemudian Fatin menghampiriku saat aku berada di dalam lift. Katanya 'dia melihatku saat memasuki gedung ini. Dia pun mengejarku, syukurlah dia bisa menaiki lift yang sama dengan ku.
"Hai, masih ingat tidak"
"Oh, iya.. kamu Fatin ya"
"Iya, berarti kamu masih ingat aku yah Zainal"
"Kok, kamu tahu namaku? Gimana keadaanmu sekarang?"
"Aku tahu karena ibuku cerita banyak mengenai kamu dan bahkan adikku sempat memfoto kamu malam itu"
"Oh ya!.. adikmu takut aku mencuri atau ngapa-ngapain kamu ya?"
"Iya"
Lift sudah sampai di lantaiku dan Fatin ikut turun. Kami pun melanjutkan pembicaraan di dalam kantorku setelah aku absen.
"Kamu sudah terlihat sangat sehat sekarang"
"Iya alhamdulillah, waktu itu aku baru sadar seminggu setelah masuk rumah sakit dan dirawat di rumah sakit sebulan lamanya"
"Lama juga yah?"
"Apanya yang lama?"
"Kamu siumannya"
"Iya kata dokter, untung saja sampai rumah sakit tidak terlambat.. karena jika tidak aku bisa dipastikan tidak ada lagi di dunia ini katanya"
"Syukurlah"
"Aku ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada kamu. Nanti siang aku teraktir makan ya? Boleh minta nomor telepon seluler kamu?"
"Ah tidak usah repot. No telepon ku 081.......9
Diapun langsung berjalan terburu-buru ke kantornya, setelah melihat jam pada tangannya.
Siang itu kami bertemu kembali di rumah makan belakang kantor. Entah kenapa kami bisa cepat akrab, seperti sudah kenal lama.
Obrolan demi obrolan berlanjut melalui Whatsapp. Bahkan kita menjadi sering makan siang bersama.
2 tahun berteman aku mulai ingin menyatakan cinta kepadanya. Namun karena sifatku yang pemalu serta aku lihat dirinya begitu sempurna. Dia baik, cantik, kaya dan pintar membuat aku semakin tidak bisa berbicara cinta kepadanya. Hingga akhirnya dia mengajakku jalan saat pulang kerja diakhir pekan. Di dalam mobil dia berbicara banyak kepadaku.
"Mas Zainal sudah punya pacar?"
"Kok tanya seperti itu! Kenapa emang?"
"Takut aja ada yang ngelabrakku"
"Dari dulu aku belum pernah pacaran, aku takut kalau dekat dengan cewek apalagi harus menyatakan cinta kepadanya"
"Masa sih.. beneran tuh? Lah ini sekarang kamu bisa dekat denganku.. bisa aja kamu.." dia berbicara sambil tertawa geli..
"Beneran saya.. gak bohong"
Kami terdiam....
"Saat aku terbaring lemah di rumah sakit kemarin, aku coba berfikir untuk mencarimu dan memilih kamu untuk pendamping hidupku. Ternyata kamu memang orang baik"
"Aku bahagia jika kamu bisa mencintaiku. Aku juga cinta kamu sejak pandangan pertama"
"Tapi entah bagaimana, apakah kamu bisa menerima aku apa adanya?"
"Kamu adalah orang yang luar biasa, pasti akan menjadi dambaan setiap lelaki. Malahan aku yang berfikir seperti itu, akankah kamu menerima aku apa adanya?"
"Aku sudah pikirkan baik-baik. Karena kamu adalah malaikat penolongku"
"Ah, kamu mah berlebihan.." sambil tersenyum
Ternyata dari keluarganya juga mau menerima aku dan kedua orang tuanya sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri.
Perjalanan cintaku berjalan mulus tanpa hambatan. Akupun menikahinya 2 tahun kemudian. Banyak yang bilang aku beruntung bisa bersama Fatin. Yah memang akupun merasakan seperti itu. Itu lah jodoh yang Allah berikan kepadaku.
Berjalannya waktu, pernikahanku belum seterang perjalanan cintaku. Penantian panjang hingga 5 tahun lamanya, Allah belum juga memberkan keturunan. Berbagai usaha sudah kami lakukan. Hingga di tahun ke 7 kami pasrah dan dalam kepasrahan kami berdua justru kami dianugrahkan seorang anak wanita.
Namun kebahagiaanku tidak berlangsung lama, saat usia anakku 3 tahun, Fatin meninggal karena sakit. Hari itu hatiku hancur sejadi-jadinya. Setengah nafasku hilang pergi bersamanya. Satu yang masih bisa menguatkanku yaitu Tamara anakku.
Akhirnya seiring berjalannya waktu aku bisa menerima keadaan ini. (KK)
-- DH --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar